Home
»Unlabelled
» Cara Yang Baik Ketika Duduk Di Ruang Pertemuan
ETIKA DUDUK DI RUANG PERTEMUAN

Pelatihan Dapodikdas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
-
Jika ia ingin duduk, maka pertama-tama ia mengucapkan salam kepada
orang-orang yang telah duduk sebelumnya, kemudian ia duduk di kursi
terakhir, ia tidak menyuruh seseorang berdiri dari kursinya untuk ia
duduki, dan tidak menyuruh seseorang berdiri dari kursinya untuk ia
duduki, dan tidak duduk di antara dua orang kecuali dengan izin
keduanya, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., “Salah
seorang dari kalian tidak boleh menyuruh berdiri seseorang kemudian ia
duduk di kursi saudaranya tersebut, namun hendaklah kalian memperlebar
diri, dan memperluas diri.” (Muttafaq Alaih). Adalah Ibnu Umar ra,
jika seseorang berdiri dari kursinya, ia tidak duduk di atas kursi
tersebut. Jabir bin Samrah ra berkata, “Jika kami datang kepada Rasulullah saw., maka salah seorang dari kami duduk di tempat terakhir.” Sabda Rasulullah saw., “Seseorang tidak halal memisahkan antara dua orang kecuali dengan izin keduanya.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).
-
Jika seseorang berdiri dari kursinya, kemudian ia ingin kembali
padanya, maka ia lebih berhak duduk di kursi tersebut, karena Rasulullah
saw. bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdiri dari tempat
duduknya, kemudian ia kembali lagi kepadanya, maka ia lebih berhak atas
tempat duduk tersebut.” (Diriwayatkan Muslim).
-
Tidak duduk di tengah-tengah forum pertemuan, karena Hudzaifah ra
berkata, bahwa Rasulullah saw. melaknat orang yang duduk di tengah
pertemuan. (Dirwayatkan Abu Daud dengan sanad yang baik).
-
Jika ia duduk, ia memperhatikan etika-etika berikut: Duduk dengan
tenang, tidak menjalin jari-jemarinya, tidak bermain-main dengan jenggot
atau cincinnya, tidak mencungkili sisa-sisa makanan di gigi-giginya,
tidak rnemasukkan tangan ke hidungnya, tidak banyak meludah, tidak
banyak berdahak, tidak banyak bersin, dan tidak banyak menguap. Ia duduk
dengan tenang sedikit gerak, dan bicaranya teratur. Jika ia berbicara
maka ia berbicara dengan benar, tidak banyak bicara, menghindari canda,
menjauhi perdebatan, dan tidak membicarakan kehebatan keluarga atau
anak-anaknya, atau produktifitasnya, atau hasil karyanya, syair atau
buku. Jika orang lain berbicara, ia mendengarnya dengan serius tanpa
melupakan kehebatan pembicaraan orang yang didengarnya, tidak memutus
pembicaraan, dan tidak meminta pembicara mengulangi pembicaraannya,
karena hal tersebut menyinggung perasaan si pembicara.
Orang menerapkan etika-etika di atas karena dua alasan: (a)
Karena ia tidak ingin menyakiti saudaranya dengan akhlak atau
perbuatannya, karena seorang Muslim haram melakukan hal tersebut.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang Muslim ialah orang di mana kaum Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (b) Karena ingin mendapatkan cinta saudara-saudaranya. Sebab Allah Ta‘ala menyuruh kaum Muslim saling mencintai.
Jika orang Muslim ingin duduk di jalan, maka ia memperhatikan etika-etika berikut:
(a) Ia menahan pandangannya dengan tidak membuka matanya untuk
melihat wanita Mukminah yang sedang berjalan, atau berdiri di pintu
rumahnya, atau berada di teras rumahnya, atau membuka jendela rumahnya
untuk salah satu keperluan. Ia juga tidak membiarkan matanya iri kepada
orang lain, atau menghinanya.
(b) Menahan diri dari mengganggu para pengguna jalan dengan tidak
menyakiti seorang pun dan pengguna jalan dengan lisannya, atau dengan
tangannya dengan menampar, atau merampas harta orang lain, tidak
menghalangi perjalanan pengguna jalan, dan tidak memutus jalan mereka.
(c) Menjawab salam setiap pengguna jalan yang mengucapkan salam
kepadanya. Sebab, menjawab salam hukumnya wajib, karena Allah Ta’ala
berfirrnan, “Dan jika kalian diberi ucapan salam, maka balaslah salam
tersebut dengan salam yang lebih baik, atau balaslah dengan salam yang
sama.” (An-Nisaa’: 86).
(d) Memerintahkan orang lain kepada kebaikan jika kebaikan tersebut
tidak diamalkan di depan matanya, atau ditelantarkan sepengetahuannya,
sebab ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal tersebut, karena
amar ma’ruf adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang Muslim, dan tidak gugur
daripadanya kecuali dengan mengerjakannya. Misalnya, adzan untuk
shalat, jika kebaikan tersebut tidak dikerjakan, maka ia harus
memerintahkannya. Contoh lain, jika ada pejalan kaki berjalan dalam
keadaan lapar, atau telanjang, maka ia harus memberinya makan, dan
pakaian, jika ia sanggup mengatasinya. Jika ia tidak mempunyai makanan,
dan pakaian, ia harus menyuruh orang lain memberi makan, dan pakaian
kepada orang yang kelaparan, dan orang telanjang tersebut. Karena,
memberi makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang
telanjang adalah kebaikan yang harus diperintahkan jika tidak diamalkan.
(e) Melarang semua kemungkaran yang dikerjakan di depannya. Sebab,
mengubah kemungkaran itu sama persis dengan menyuruh kepada kebaikan
dan merupakan tugas setiap orang Muslim, karena Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya.”
Contohnya, seseorang memukul orang lain, atau merampas hartanya, maka
dalam kondisi seperti itu ia harus mengubah kemungkaran tersebut dengan
melawan kezhaliman, dan permusuhan tersebut sesuai dengan batas
kemampuannya.
(f) Memberi petunjuk jalan kepada orang tersesat. Jika seseorang
menanyakan rumah seseorang kepadanya, atau menanyakan jalan kepadanya,
atau menanyakan seseorang maka ia wajib menjelaskan rumah orang yang
bersangkutan, jalan yang ditanya orang tersebut, dan orang yang
ditanyakan orang tersebut ini semua termasuk etika duduk di jalan
seperti di depan rumah, di depan toko, di depan warung, halaman umum,
dan lain sebagainya, karena Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian duduk di jalan-jalan.”
Para sahabat bertanya, “Kami tidak mempunyai tempat alternatif, dan
jalan-jalan adalah tempat duduk kami dan kami ngobrol di dalamnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian tetap ingin duduk di jalan-jalan, maka beri jalan-jalan tersebut akan haknya.” Para sahabat bertanya, “Apa hak jalan?” Rasulullah saw. bersabda, “Menahan
padangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam, amar ma’ruf
nahi munkar, dalam riwayat lain, dan memberi petunjuk jalan kepada orang
yang tersesat.” (Muttafaq Alaih)
Di antara etika duduk yang lain ialah beristighfar kepada Allah
ta’ala ketika berdiri dari kursi untuk menghapus kesalahan yang bisa
jadi ia kerjakan di tempat tersebut. Jika Rasulullah saw. berdiri dari
tempat duduknya, beliau berkata, “Mahasuci Engkau wahai Allah. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku
meminta ampunan kepada-Mu, dan bertaubat kepada-Mu.” (Diriwayatkan
At Tirmidzi). Rasulullah saw. ditanya tentang doa tersebut, kemudian
beliau menjelaskan bahwa doa tersebut menghapus kesalahan yang terjadi
di pertemuan tersebut.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar