Ingatlah Aku - Cerpen Cinta Sedih
INGATLAH AKU
Cerpen Karya Ledy Triananda
Cerpen Karya Ledy Triananda
Senja telah datang menghampiri langit eropa, sinarnya gambarkan siluet
keagungan menara Eiffel yang kini berjarak 20 meter dari titik aku
berdiri. Eksotis. Dicampur dengan keindahan sungai-sungai yang mengalir
begitu saja menuju hulu ia menjadi semu. Mengalun syahdu, dengan suara
gemercik air menggenang tenang. Kebanggaan tersendiri yang selalu ada
untukku, berdiri di sini untuk mengejar mimpi yang selama ini kubangun.
Lalu lalang orang berjalan telah memenuhi kota ini. Paris. Mentari yang tadinya menyongsong cakrawala mulai kelap dilahap masuk oleh sudut langit kota. Semerbak harum khas eropa ini, temani soreku menuju Café Du Trocadero, untuk mememulai menulis buku. Memesan secangkir teh panas dengan kombinasi biskuit, dapat menambah suasana hati menjadi lebih baik. Sejenak kupusatkan pandanganku pada buku yang sedang kubawa. Entah enggan rasanya, ingin membuka lembaran-lembaran cerita yang kutulis saat ini. Buku yang akan kuterbitkan saat ini menyimpan beribu kenangan manis yang tak mampu kuungkap secara lengkap. Akhir kata, ku masukkan buku itu kedalam tas.
Lalu lalang orang berjalan telah memenuhi kota ini. Paris. Mentari yang tadinya menyongsong cakrawala mulai kelap dilahap masuk oleh sudut langit kota. Semerbak harum khas eropa ini, temani soreku menuju Café Du Trocadero, untuk mememulai menulis buku. Memesan secangkir teh panas dengan kombinasi biskuit, dapat menambah suasana hati menjadi lebih baik. Sejenak kupusatkan pandanganku pada buku yang sedang kubawa. Entah enggan rasanya, ingin membuka lembaran-lembaran cerita yang kutulis saat ini. Buku yang akan kuterbitkan saat ini menyimpan beribu kenangan manis yang tak mampu kuungkap secara lengkap. Akhir kata, ku masukkan buku itu kedalam tas.
![]() |
Ingatlah Aku - Cerpen Cinta Sedih |
Secangkir teh dan biskuit pesananku datang.
“Merci!” Ucapku tersenyum kepada pelayan yang menyuguhkan pesananku. Kuteguk perlahan secangkir kopi panas yang kuselipkan pada jemari-jemariku. Aroma dan rasanya masihlah sama, nikmat, tak dapat ditolak. Masih seteguk teh masuk kedalam tenggorokanku. Hujanpun tiba.
“Merci!” Ucapku tersenyum kepada pelayan yang menyuguhkan pesananku. Kuteguk perlahan secangkir kopi panas yang kuselipkan pada jemari-jemariku. Aroma dan rasanya masihlah sama, nikmat, tak dapat ditolak. Masih seteguk teh masuk kedalam tenggorokanku. Hujanpun tiba.
Hujan datang! Batinku tersenyum. Hujan memang sedang mengguyur Kota Paris. Tapi keindahannya membuat Paris terkenal lebih hidup saat hujan turun membasahi eloknya Kota Paris. Dapatkah kau bayangkan betapa menakjubkannya kota ini dalam hujan? Bayangkan Paris pada tahun 20! Hujan datang, dengan pelukis dan penulis hebat pada zaman itu. Tentu siapa yang tak kenal dengan Cole Porter, Ernest Hemingway dengan karyanya The Sun Also Rises, The Old Man and The Sea, A Farewell to Arms, dan buku-buku lainnya yang terkenal laris. Tak kalah lain dengan F. Scott Fitzgerald, karyanya yang menjadi salah satu daftar buku favoritku, The Beautiful and Damned. Sangat menakjubkan. Berlari dibawah hujan membawaku pulang ke apartemen yang tak jauh dari Café Du Trocadero.
Dengan badan basah kuyup, kupaksakan untuk masuk ke apartemen, “Hai!” Sapaku pada Tania roommate-ku, dan juga teman.
“Cepat ganti baju, Stev!” Ujar Tania tak menghiraukan tatapanku dan masih membaca majalah dipangkuannya. Ia berasal dari Singapur, tak mungkin asing dengan paras wanita Singapur. Tentu saja, berbadan langsing, mata sipit, berambut lurus dan hitam lebat. Berbeda dengan parasku, aku memiliki rambut gelombang dengan warna coklat dan mata lebar asli keturunan Jerman.
“Journal!” Ujar Tania melempar koran padaku. Tangkapan bagus. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju kamar. Perlahan kucoba membaca setiap berita yang muncul di koran. Dan yang menjadi pusat perhatianku adalah… Aku menyipitkan kedu mataku. Pemenang juara bulutangkis.
“Gerald Denny K.” Kataku perlahan, “Internasional…” Gumamku lagi-lagi. Aku meniti raut wajahnya pada foto tersebut. Medali yang terkalung di lehernya serta senyuman yang mampu membuka aura baru yang telah lama hilang tersungging di kedua bibirnya. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya malah. Seseorang yang kucinta selama ini. Kenangan dua tahun silam yang pernah kujalani, seolah-olah muncul, memenuhi pikiranku kembali. Sekejap aku pejamkan kedua mataku, dan menarik nafas berat. Tetes air mata kebahagiaan ini spontan keluar dengan sendirinya.
Harus dengan cara apalagi aku harus melupakanmu, berbagai cara telah kulakukan tetapi itu selalu sia-sia. Lihatlah dirimu sekarang, kau telah datang menjemput impianmu, dan lihatlah aku, aku. Aku masih tak tahu aku telah mencapai mimpiku atau belum. Pastinya, aku masih belum sehebat Hemingway, tokoh kebanggaanku. Masih ingat itu? Aku memang sedang berdiri di kota besar ini, dan mungkin, masih belum bisa menjemput impian yang selama ini kubangun dengan kerja kerasku. Aku menangis karena aku bahagia, melihatmu memenangkan perlombaan itu. Aku menangis karena impianmu telah datang dalam dekap genggammu. Aku bahagia karena engkau telah mampu mengukir kebahagiaan itu untuk semua orang yang pernah mengenalmu. Termasuk aku. Selama dua tahun lebih aku telah memungkiri perasaan yang pernah ada. Aku memungkiri perasaan yang selalu bernaung dalam hatiku. Hingga sampai saat inipun aku tak tahu, kau pernah mempunyai perasaan yang sama denganku atau tidak. Aku tak ingin tahu, karena aku lelah, selalu mencintai seseorang, yang tak mencintaiku. Dan kemungkinan besarnya, kau adalah salah satunya. Aku telah menunggu perasaan itu hingga dua tahun terakhir aku bertemu denganmu. Itupun saat aku dan kau masih duduk dibangku SMA. Canda tawamu denganku dulu yang selalu memenuhi benakku. Kini, dua tahun tersebut berlalu dengan sangat lambat bagiku, bagiku, yang selalu mengenangmu, dalam setiap waktu. Kau tak pernah tau itu. Karena kau tak pernah mengerti tentang perasaanku yang terjalin karenamu. Memori itu datang mengingatkanku akan padamu. Apakah aku sia-sia melupakanmu dengan fokus pada bukuku yang saat ini sedang kubuat? Perasaan itu tak pernah hilang sampai saat ini, dan entah mengapa itu bisa terjadi.
Kubuka perlahan mataku yang sedari tadi berlinang bola-bola kristal yang membasahi pipiku. Aku menangis bahagia bukan kesedihan. Aku menangis, karena mimpinya yang dulu pernah ia katakan padaku, kini telah menjadi nyata. Kurebahkan badanku dikasur dengan menatap jendela kaca lebar, dengan cahaya lampu berpijar pada tiap sudut kamarku yang sunyi. Terngiang lagi memori disetiap elegi yang mampu gambarkan masa laluku bersamanya. Dahulu.
Di mana ia sekarang? Aku merindunya. Hanya kata-kata itulah yang terulang-ulang dibenakku. Hingga aku terlelap dalam tidurku. Hujan temani air mataku yang sedang mengalir. Hujan temani lukaku yang pernah ku jabarkan pada cerita manis yang pernah ku untai. Apakah usahaku melupakanmu hingga aku berdiri di Paris ini akan sia-sia?
***
Serasa berat kedua mataku terbuka saat pagi menjelang. Jelasnya, kedua mataku sangat bengkak, atau bisa dikatakan kedua kelopak mataku sungguh-sungguh tirus. Aku segera keluar kamar, pergi kedapur untuk makan pagi.
“Bonjour!” Sapa Tania saat aku mengambil posisi duduk untuk makan pagi, “Matamu,” Tania menunjuk mataku.
“Stevy, listen to me. Love, makes life's sweetest pleasures and worst misfortunes.” Belum sempat menjawab pertanyaannya. Ia sudah memberikan semacam advice padaku. Aku hanya tersenyum, meresapi perkataan Tania. Sederhana, tetapi penuh makna.
“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku−” Aku menghentikan perkataanku.
“Aku sama sepertimu, aku wanita. Aku dapat merasakannya, Stev.” Ia mulai menggigit rotinya untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum, meratapi apa yang tadi malam kurasakan. Menangis didalam derasnya hujan yang mengguyur. Aku mengambil nafas dalam-dalam.
“Tan…” Panggilku ragu.
“Ya?”
“A-aa-apa…” Ucapku terbata-bata, “Aku akan menjadi penulis hebat di sini?” Aku memejamkan mata. Penasaran apa jawabannya setelah ini.
“Hebat atau tidak adalah pilihan. Kau ingin hebat, maka kau harus berusaha. Maka sebaliknya, jika kau tak pernah sungguh-sungguh atas keinginanmu, kau takkan pernah mencapai keinginan itu, walaupun kau memimpikannya sampai 7 langitpun. C’est la vie.” Jelasnya padaku. Aku mengangguk mantap, semakin semangat untuk memulai mimpiku. Mimpi yang akan kucapai. Menjadi penulis legendaris yang selalu diingat seluruh manusia, dipenjuru dunia. Seperti mereka tokoh favoritku, Hemingway, S. Fitzgerald, dan penulis hebat lainnya, disegala Negara. Mereka hidup pada zaman, yang menyimpan historika keindahan.
Siang ini begitu melelahkan rupanya. Mentari sedang senang-senangnya menyorotkan sinarnya. Rencanaku siang ini, setelah pulang dari kampus, adalah pergi ketempat biasa, Café Du Trocadero, untuk meneruskan menulis bukuku yang ke-20 untuk diterbitkan oleh penerbit besar di Prancis. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Berjalannya waktu bergulir, aku terus menulis, meluangkan ideku, bernostalgia pada masa laluku. Ya, tidak ada topik yang mengerikan jika cerita itu benar, dengan prosa yang bersih dan jujur “Keanggunan di bawah tekanan.” – Hemingway.
“Quand on n'a que l'amour
Pour tracer un chemin
Et forcer le destin
A chaque Carrefour”
Lagu itulah sedang bersenandung bersama, ideku yang terus menerus mengembang.
Hari semakin gulita, lampu-lampu kota mulai menyala karena gelapnya suasana. Hilir mudik mobil berderung kesana kemari. Aku masih tetap fokus pada bukuku. Hingga akhirnya, selesai. Aku mampu menyelesaikannya. Aku bergegas untuk pulang, tak sabar menunggu datangnya esok pagi, dan menyetorkan naskahku kepada penerbit. Ini akan menjadi hal terbaik dalam hidupku.
***
Tepat sekali. Hari ini adalah hari Minggu. Aku sedang bersiap diri didepan kaca. Mengenakan baju terbaikku, dengan semprotan harumnya parfum, serta tatanan rambut yang menghiasi diriku pagi ini. Aku menghembuskan nafas dengan rileks, aku keluar kamar dengan buku yang ku bawa.
“Tania!” Aku datang kepada Tania, memegang tangannya erat-erat.
“Kau gugup?” Tanya Tania heran.
“Hari ini aku akan menyerahkan naskahku. Kau harus temani aku hari ini!” Tegasku.
“Relax. Everything’s gonna be okay, trust me sweetheart.” Tania mulai memelukku, “Good luck, baby! Aku akan temanimu hari ini.” Aku mengangguk percaya, melepas pelukan Tania. Kami segera keluar apartemen untuk pergi menuju penerbit. Aku dan Tania berjalan dengan riang, bersenda gurau, meskipun sejujurnya aku masih tak bisa tersenyum tulus, karena gugupnya hatiku. Detak jantungku masih berdegup kencang tak sesuai dengan irama.
“Stevy, jika bukumu sudah diterbitkan. Jangan lupa traktir aku ya. Dan aku harus menjadi, orang pertama yang membaca bukumu.” Tania mencolek daguku.
“Pastinya. Berdoalah untukku, kesuksesanku.” Aku menatap tajam mata Tania.
Aku hendak menyebrang melawan arus di perempatan lampu merah kota. Entah bagaimana kejadiannya, aku sama sekali tak menduga, apakah aku yang terlalu terburu-buru, tidak fokus, atau tidak melihat jalan, aku sama sekali tak mengerti. Sebuah mobil menabrak tubuhku, aku terpental jauh. Tergolek lemas di tengah jalan. Seketika, aku hanya dapat mendengar jeritan Tania yang terdengar semu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku, tetapi rusuk-rusukku telah merapuh. Aku tak dapat melihat lagi. Buram. Saat itu pula, semua pandanganku menjadi hitam pekat, dan aku tak sadar diri.
Aku sedang ada di suatu lorong besar yang tak berhujung. Berdiri seorang diri, tanpa seseorang. Keadaan saat itu hanyalah tenang. Pikirku, aku telah mati. Hingga aku berjalan tiada henti, dan titik ujung dari perjalananku tak kutemukan. Tiba-tiba saja aku menemukan lengan kokoh penuh dengan cahaya putih merengkuhku pergi kesuatu tempat, aku-tak-tahu-kemana. Pada saat itu pula aku ingin memanggil-Nya, Tuhan. Ia membawaku ketempat luar biasa indah, ataukah ini yang dinamakan kedamain?
***
Mataku memang terpejam. Tapi aku masih dapat melihatmu. Tuhan… Mungkin memang satu pejamlah, aku bisa melihatmu, melihat keindahan ini. Kali ini, aku telah sampai di ujung perjalananku. Seperti hujan. Aku penasaran bagaimana nanti aku akan dikenang, kuserahkan semua pada kalian. Untuk kedua orangtuaku yang selalu mendukungku dengan berbagai hal. Roommate-ku, Tania, yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan selalu menyemangatiku. Mungkin aku belum sempat meminta maaf kepada kalian yang selalu kucinta. Teman dan sahabat SMA-ku yang masih saja kuingat sampai saat ini. Kakakku yang selalu ada untukku saat aku bersedih. Adik-adikku yang mungkin akan menjadi penerus dikeluarga tercintaku. Indonesia, terimakasih atas segala limpahan cinta serta kasih yang selalu ada untukku dan keluargaku. Khususnya, untuk orang yang kucintai sampai titik umurku usai. Gerald, yang mampu berikan arti dihidup ini. Berkatmulah aku menjemput impianku. Membuat buku yang menceritakanku dan dirimu. “The Last Good Day” buku terakhir, yang mampu kubuat. Buku terakhir, yang menceritakan tentang perjalanan kisahku denganmu yang tak bisa kulupakan. Sebait paragraph buku terakhirku… untukmu, Gerald.
“Mungkin kau di sana telah melupakanku. Tapi aku disini, selalu mencintaimu dengan segala usahaku yang masih mengingatmu. Meskipun berbagai cara telah kutempuh untuk melupakanmu. Dua tahun silam, kita tak pernah bertemu. Tragisnya, aku masih hafal aroma parfummu, kebiasaan baik dan burukmu, hal yang paling tidak kau suka, hingga hal yang paling kau suka. Anggap saja, inilah sad ending disetiap cerita, dan inilah salah satunya. Aku tak pernah mengerti, apakah kau mempunyai perasaan yang sama denganku atau tidak, aku tak tahu. Dan memang sebaiknya aku tak usah mengerti, apa isi hatimu, dan siapa sosok menawan di hatimu saat ini. Aku pikir, bukanlah aku. Aku selalu menunggumu, tahukah kau tentang itu? Kaulah yang dapat membuatku bahagia, membuatku mengerti artinya hidup dengan segala mimpi yang pernah kita ucapkan dulunya. Ingatkah kau tentang itu? Kini, mimpimu telah berhasil kau capai. Aku? Aku tak tahu apakah mimpiku ini, telah kucapai, atau belum. Aku bangga padamu, aku ucapkan “Terimkasih Tuhan, kau menitihnya, membangun mimpinya.” Aku hanya berharap 1 hal padamu. Aku ingin sekali saja menjadi hal manis, dan bagian terindah yang pernah singgah di hati kecilmu. Tepatnya, dua tahun yang lalu. Ingatlah! Aku selalu mencintaimu. Meskipun kau-tak-pernah-mencintaiku. Je t’aime.”
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar